Bareksa.com - Baru empat bulan bergabung dengan Grup
Rajawali, PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT) sudah dilanda isu
divestasi oleh induk usahanya tersebut. Kabar semakin santer ketika
Komisaris Utama yang berasal dari Grup Rajawali mengundurkan diri. (baca
juga: Ditinggal Komisaris Asal Rajawali; Saham BWPT Naik 7%)
Bahkan dua surat kabar yakni Bisnis dan Kontan pada
28 Mei 2015 menyebut bahwa Rajawali akan melepas sebesar 17 persen
kepemilikannya. Kabarnya, Grup rajawali sedang melakukan negosiasi
dengan investor asing yang berniat membeli saham BWPT di atas harga
right issue Rp400 per saham. Padahal, sejak right issue sampai
perdagangan kemarin, 28 Mei 2015 harga saham BWPT masih sulit melewati
level tersebut. (baca juga: MARKET FLASH: Rajawali Akan Lepas BWPT 17%)
Seberapa menarik BWPT setelah terkonsolidasi dengan grup Rajawali?
Setelah bergabung di akhir 2014, perusahaan yang dulunya bernama PT
BW Plantation Tbk berubah nama menjadi PT Eagle High Plantation Tbk.
Grup Rajawali menjadikan BWPT sebagai induk atas perusahaan sawit milik
Rajawali yakni Green Eagle.
Sebelum bersatu dengan Rajawali, BWPT hanya memiliki kebun dengan
luas area tertanam sebesar 69 ribu hektar -- 60 persen dari luas lahan
sudah menghasilkan. Setelah bergabung, lahan tertanam melonjak menjadi
146 ribu hektar.
Sayangnya besarnya aset perkebunan Green Eagle juga masih berusia
muda seperti lahan BWPT sebelumnya yang memiliki umur sekitar 8 sampai
8,5 tahun. Jadi luas lahan yang yang menghasilkan tidak berbeda jauh
yakni masih sekitar 59 persen.
Kondisi ini berbeda dengan raksasa sawit seperti PT Astra Agro
Lestari Tbk (AALI), PT London Sumatra Plantations Tbk (LSIP), dan PT
Sampoerna Agro Tbk (SGRO). Kontribusi lahan menghasilkan terhadap total
lahan yang dimiliki ketiga perusahaan tersebut diatas 80 persen.
Dalam analisis Bareksa, semakin besar persentase lahan menghasilkan
semakin tinggi pula margin laba yang diperoleh. BWPT harus menyediakan
modal lagi untuk memelihara luas lahan yang belum menghasilkan sehingga
menyebabkan biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan AALI, LSIP
dan SGRO.
Jika dilihat dari potensi lahan sebetulnya dengan bergabungnya Green
Eagle ke BWPT, lahan yang dikembangkan meningkat menjadi 324 ribu hektar
dari sebelumnya 129 ribu hektar. Luas lahan ini lebih luas dari SGRO
yang hanya memiliki 233 ribu hektar.
Tetapi dalam pengembangannya BWPT membutuhkan dana yang besar.
Kemungkinan ini yang melatarbelakangi grup Rajawali melakukan penjualan
saham BWPT.
Karena selain mengembangkan lahan yang belum tertanam, BWPT harus
mengeluarkan modal untuk membangun pabrik pengolahan kelapa sawit. Saat
ini kapasitas produksi BWPT setelah bergabung hanya berkisar 280 ton
TBS/jam. Jauh lebih kecil dibanding AALI yang memiliki kapasitas
produksi 1.435 ton TBS/jam, LSIP 405 ton TBS/jam dan SGRO 455
ton TBS/jam.
"BWPT butuh dana besar, sehingga cari investor strategis. Tetapi
investor tentu tidak mau dengan harga yang mahal," kata Nur Falah,
manajer investasi PT Tugu Reasuransi Indonesia ketika dihubungi
Bareksa.com
Berdasarkan valuasi price to earning ratio (PER), pada harga Rp407
per saham mencapai 24,76 kali. Padahal AALI yang merupakan perusahaan
sawit terbesar di Indonesia saja memiliki PER hanya 21,54 kali. Jika
dibandingkan dengan perusahaan lain yang juga memiliki potensi
pertumbuhan tinggi seperti BWPT yakni LSIP dan SGRO saat ini hanya
memiliki PER 13,83 kali dan 11,28 kali.
"Jika harga jual diatas Rp400 relatif mahal, apalagi jumlah saham
yang ditawarkan hanya berkisar 17 persen. Jadi tidak ada premium bagi
investor untuk mengendalikan perusahaan," tambah Nur Falah. (np)