Sunday 31 May 2015

BWPT (PT Eagle High Plantation Tbk)

Bareksa.com - Baru empat bulan bergabung dengan Grup Rajawali, PT Eagle High Plantation Tbk (BWPT) sudah dilanda isu divestasi oleh induk usahanya tersebut. Kabar semakin santer ketika Komisaris Utama yang berasal dari Grup Rajawali mengundurkan diri. (baca juga: Ditinggal Komisaris Asal Rajawali; Saham BWPT Naik 7%)
Bahkan dua surat kabar yakni Bisnis dan Kontan pada 28 Mei 2015 menyebut bahwa Rajawali akan melepas sebesar 17 persen kepemilikannya. Kabarnya, Grup rajawali sedang melakukan negosiasi dengan investor asing yang berniat membeli saham BWPT di atas harga right issue Rp400 per saham. Padahal, sejak right issue sampai perdagangan kemarin, 28 Mei 2015 harga saham BWPT masih sulit melewati level tersebut.  (baca juga: MARKET FLASH: Rajawali Akan Lepas BWPT 17%)
Seberapa menarik BWPT setelah terkonsolidasi dengan grup Rajawali?
Setelah bergabung di akhir 2014, perusahaan yang dulunya bernama PT BW Plantation Tbk berubah nama menjadi PT Eagle High Plantation Tbk. Grup Rajawali menjadikan BWPT sebagai induk atas perusahaan sawit milik Rajawali yakni Green Eagle.
Sebelum bersatu dengan Rajawali, BWPT hanya memiliki kebun dengan luas area tertanam sebesar 69 ribu hektar -- 60 persen dari luas lahan sudah menghasilkan. Setelah bergabung, lahan tertanam melonjak menjadi 146 ribu hektar.
Sayangnya besarnya aset perkebunan Green Eagle juga masih berusia muda seperti lahan BWPT sebelumnya yang memiliki umur sekitar 8 sampai 8,5 tahun. Jadi luas lahan yang yang menghasilkan tidak berbeda jauh yakni masih sekitar 59 persen.

Kondisi ini berbeda dengan raksasa sawit seperti PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI), PT London Sumatra Plantations Tbk (LSIP), dan PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO). Kontribusi lahan menghasilkan terhadap total lahan yang dimiliki ketiga perusahaan tersebut diatas 80 persen.
Dalam analisis Bareksa, semakin besar persentase lahan menghasilkan semakin tinggi pula margin laba yang diperoleh. BWPT harus menyediakan modal lagi untuk memelihara luas lahan yang belum menghasilkan sehingga menyebabkan biaya yang dikeluarkan lebih besar dibandingkan AALI, LSIP dan SGRO.

Jika dilihat dari potensi lahan sebetulnya dengan bergabungnya Green Eagle ke BWPT, lahan yang dikembangkan meningkat menjadi 324 ribu hektar dari sebelumnya 129 ribu hektar. Luas lahan ini lebih luas dari SGRO yang hanya memiliki 233 ribu hektar.

Tetapi dalam pengembangannya BWPT membutuhkan dana yang besar. Kemungkinan ini yang melatarbelakangi grup Rajawali melakukan penjualan saham BWPT.

Karena selain mengembangkan lahan yang belum tertanam, BWPT harus mengeluarkan modal untuk membangun pabrik pengolahan kelapa sawit. Saat ini kapasitas produksi BWPT setelah bergabung hanya berkisar 280 ton TBS/jam. Jauh lebih kecil dibanding AALI yang memiliki kapasitas produksi 1.435 ton TBS/jam, LSIP 405 ton TBS/jam dan SGRO 455 ton TBS/jam.

"BWPT butuh dana besar, sehingga cari investor strategis. Tetapi investor tentu tidak mau dengan harga yang mahal," kata Nur Falah, manajer investasi PT Tugu Reasuransi Indonesia ketika dihubungi Bareksa.com
Berdasarkan valuasi price to earning ratio (PER), pada harga Rp407 per saham mencapai 24,76 kali. Padahal AALI yang merupakan perusahaan sawit terbesar di Indonesia saja memiliki PER hanya 21,54 kali. Jika dibandingkan dengan perusahaan lain yang juga memiliki potensi pertumbuhan tinggi seperti BWPT yakni LSIP dan SGRO saat ini hanya memiliki PER 13,83 kali dan 11,28 kali.

"Jika harga jual diatas Rp400 relatif mahal, apalagi jumlah saham yang ditawarkan hanya berkisar 17 persen. Jadi tidak ada premium bagi investor untuk mengendalikan perusahaan," tambah Nur Falah. (np)